This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 10 Desember 2017

Syech Subachir dan Jawa


Kompilasi untuk cerita mBah Asma (Kajoran) tentang legenda "Cepetan Alas" 

Jumat, 24 Februari 2017

Syech Subakir | Penumbal Tanah Jawa

Apa yang pernah dikisahkan mBah Asma tentang Syech Subakir [Di Sini] akan dilengkapi dengan referensi lain dari Babad Tanah Jawa berikut: 

Menurut Babad Tanah Jawa, Syekh Subakir adalah pembuka masa Islam di Tanah Jawa sebelum Walisongo. Sebelumnya, sudah banyak utusan dari Negeri Arab dalam hal menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa.


Namun terbentur akan kekuatan gaib yang masih menguasai Jawa atau Nusantara. Maka, ditunjuklah Syeh Subakir untuk menumbali Tanah Jawa sebelum para Wali-wali memulai dakwahnya.
Penyebab utama dari Syiar agama islam sebelum Syeh Subakir disebabkan oleh masyarakat yang masih kokoh memegang kepercayaan lama.
Dalam artian, bahwa masih banyak mahluk yang menghuni dan mempengaruhi masyarakat Jawa untuk menyembah pepohonan, batu besar atau hal-hal yang berbau musrik.
Di situlah Syekh Subakir berperan menghilangkan gangguan jin dan setan tersebut menggunakan batu hitam yang dipasang Syekh Subakir di bagian-bagian Nusantara.

Syekh Subakir, Babad Tanah Jawa Syekh Subakir, sangat berjasa dalam menumbali tanah Jawa, ”Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Negeri Arab, untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya tapi telah gagal secara makro. 
Disebabkan orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan gagal. 
Maka diutuslah Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam yang dipasang oleh Syekh Subakir di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. 
Syekh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: 
“Walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai Syeh Subakir.” 
“Apa itu?” kata Syekh Subakir. 
Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”
Syekh Subakir berasal dari Iran (dalam riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum).

Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, Syekh Subakir berasal dari Iran (dalam riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum, Baghdad). 
Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, mereka diantaranya:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.

Versi legenda pulau jawa

Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, bahwa sudah beberapa kali utusan dari Arab didatangkan untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, tapi selalu gagal secara makro. 
Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Masyarakat masih senang menyembah barang-barang bertuah dan ruh-ruh yang diyakininya dapat membimbing, memberi ilham dan menolong mereka. Dengan tokoh-tokoh gaibnya, para tokoh masyarakat masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar Pulau Jawa.
Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat. Meskipun berkembang, tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Artinya, secara makro dapat dikatakan gagal. Karena itu, maka diutuslah Syeh Subakir yang dikenal memang sakti mandraguna. 
Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah yang terkait magic dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat yang masih demen ilmu-ilmu mistik. Untuk menyebarkan agama Islam, menurut cerita yang berkembang, Syekh Subakir membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar .
Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk: Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syech Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: 
“Ya Syekh, walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami dan kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai Syeh Subakir.” 
“Apa itu?” kata Syeh Subakir. 
Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”. Tidak salah bila kemudian, gunung Tidar dikenal dengan Paku Tanah Jawa.
Gunung Tidar tak terpisahkan dengan pendidikan militer. Gunung yang dalam legenda dikenal sebagai “Pakunya tanah Jawa” itu terletak di tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan laut, Gunung Tidar memiliki sejarah dalam perjuangan bangsa. Di Lembah Tidar itulah Akademi Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak perwira pejuang Sapta Marga berdiri pada 11 November 1957. 
Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas. Di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.
Gunung Tidar tidak hanya terkenal sebagai ikon atau identitas Kota Magelang. Bagi sebagian orang yang memang nglakoni lelaku spiritual , Gunung Tidar merupakan salah satu obyek yang menjadi tempat tujuan mereka untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Dahulu, Gunung Tidar terkenal akan ke-angker-annya dan menjadi rumah bagi para Jin dan Makhluk Halus. Jalmo Moro Jalmo Mati, setiap orang yang datang ke Gunung Tidar bisa dipastikan kalau tidak mati ya modar (dan mungkin hal ini yang menjadi asal usul nama Tidar). Berdasarkan penuturan Juru Kunci Gunung Tidar, di Gunung Tidar terdapat 2 buah makam yaitu Makam Kyai Sepanjang dan Makam Sang Hyang Ismoyo (atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Semar).
Sedangkan tempat yang selama ini dikenal sebagai Makam Syekh Subakir sebenarnya hanyalah petilasan beliau. Jadi, beliau dikenal sebagai wali Allah yang menaklukkan Jin dan Makhluk Halus di Gunung Tidar sehingga para makhluk halus tersebut ‘mengungsi’ ke Pantai Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah berhasil menaklukkan Jin dan Makhluk Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah asalnya di Rom (Baghdad). 
Di petilasan Syekh Subakir ini tersedia mushola kecil dan pendopo. Petilasan Syekh Subakir sebelumnya ditandai dengan adanya kijing yang terbuat dari kayu. Setelah dipugar, kijing tersebut diletakkan di pendopo dan diganti dengan batu fosil yang berasal dari Tulung Agung serta dikelilingi pagar tembok yang berbentuk lingkaran dan tanpa atap. Pada tahap berikutnya, kedudukan Syekh Subakir, Sang Babad Tanah Jawa sebagai salah satu Wali Songo, digantikan oleh Sunan Kalijaga yang banyak disebut-sebut pimpinan para wali di Tanah Jawa karena kekeramatannya yang begitu melegenda.

Versi Lain Babad Tanah jawa

ADA satu kisah menarik dalam petilan “Babad Tanah Jawa”. Meskipun kisah ini merupakan petilan. Namun intisari yang tertanam di dalamnya, ternyata tetap masih aktual di saat ini sekali pun. Ketika itu, datanglah para ulama dari “Sebrang Lautan” (Mesir) ke Tanah Jawa. Tujuan para ulama utusan Sultan Mesir itu adalah untuk menyebarkan agama Islam, yang menurut laporan masih banyak penduduk Jawa yang kafir. Para ulama itu dipimpin seorang Syeh yang bernama Syech Subakir Sebelum Syech Subakir datang, telah beberapa kali ulama pendahulunya menginjakan kakinya di Tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu gagal menyebarkan agama Islam. Mengapa? Pertanyaan itulah yang berada di benak Syech Subakir. Dan tidak berapa lama setelah sampai ke Tanah Jawa, Syech asal Persia (Iran) itu berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tersebut. Ternyata, seluruh Tanah Jawa dari ujung Timur sampai ke Barat di jaga oleh bangsa jin yang dipimpin Sabdo Palon.
Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah mereka, para jin kafir yang tidak mau masuk Islam dan menentang Islam berkembang di Tanah Jawa. Untungnya, Syech Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus, sehingga dia dan para ulama yang dipimpinnya berhasil mengetahui keberadaan para jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para mahluk halus itu ada yang berujud ombak yang besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya. Juga angin puting beliung, dan sebagainya yang mampu memporak- porandakan apa saja yang ada dihadapannya, termasuk menjelma menjadi hewan buas, harimau, ular dan sebangsanya.
Perubahan bentuk dan ujud itulah yang selama ini diduga mencelakakan para ulama yang bermaksud menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Maka kemudian terjadilah pertempuran yang dasyat antara para jin pimpinan Sabdo Palon dengan pasukan ulama pimpinan Syech Subakir. Konon, pertempuran itu terjadi selama berhasi- hari, tanpa ketahuan siapa yang bakal memenangkannya. Karena melihat situasi yang tidak menguntungkan, maka Sabdo Palon mengajukan usulan gencatan senjata.
Syech Subakir yang melihat itu sebuah peluang, menerima ajakan Sabdo Palon. Maka terjadilah kesepakatan antara keduanya. Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi kesempatan kepada Syech Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan cara paksaan atau memaksa. Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam untuk berkuasa di Tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan. Para Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adapt istiadat dan budaya yang ada.
Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang dakuinya, tetapi biarlah adapt dan budaya berkembang sedemikian rupa. Dan yang terpenting, jadi pemimpin janganlah terlalu lurus, namun juga jangan terlampau bengkok. Hal ini sempat dipertanyakan Syech Subakir kepada Sabdo Palon, mengapa seorang pemimpin tidak boleh benar-benar lurus.
Dijawab Sabdo Palon, karena pemimpin itu menjadi pimpinan semua orang. Dan orang tidak semuanya lurus, pasti banyak pula yang bengkok. Lha, orang yang bengkok-bengkok itu akan ikut siapa, bila pemimpinnya lurus? Legenda Gunung Tidar Magelang Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan –sebagaimana dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)– bahwa pada zaman dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak.
Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai “pakuning tanah jawa”.

Versi lain

Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam mengisahkan bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang diperintah oleh dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama Islam, datang ke daerah ini untuk berdakwah. Tidak rela atas kedatangan Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin melawan sang Syekh. 
Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin dan istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan Nyai Rara Kidul yang merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali rakyat didaerah ini rela menjadi pengikut Syekh Subakir. Legenda ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). 
Hal ini karena telah disebutkan dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular menjadi kepercayaan masyarakat. Apalagi pemerintah kota Magelang menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan menempatkan gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan nama Tidar, seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi, nama terminal dll. Yang semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi legenda abadi.
http://iklanmadiun.com/syech-subakir-penumbal-tanah-jawa/

Minggu, 03 April 2016

Pulau Run, Kepulauan Banda yang Ditukar New York






Ilustrasi Kepulauan Banda (foto:Istimewa/Wikipedia)
KEPULAUAN BANDA merupakan gugusan pulau yang terdiri dari enam kepulauan kecil. Demikian kecilnya pulau-pulau itu, jika dilihat dari peta Indonesia, maka yang akan terlihat hanya titik-titik kecil saja.

Namun, siapa sangka jika pulau yang sangat kecil itu pernah memainkan peran yang sangat penting pada masa kolonial sebagai penghasil buah pala dan fuli yang dikenal dunia sebagai buah emas.

Gugusan Kepulauan Banda yang terkenal itu adalah Neira atau Banda Neira, Lonthor atau Banda Besar, Run, Ai, Rozengain, dan Gunung Api. Seluruh kepulauan ini bagian dari Kepulauan Maluku, Nusantara.

Pulau-pulau ini dikelilingi batu-batu besar dan karang yang menonjol di permukaan laut. Luas pulau mencapai 40 mil persegi jika laut pasang, dan jumlah penduduknya sebanyak 15.000 jiwa, pada abad ke-16.

Untuk mencapai kepulauan ini, pedagang rempah-rempah dan pelaut Eropa harus mengarungi ganasnya Samudera Hindia dan pantai barat Afrika, terus menuju Asia Tengah, dan baru ke Kerajaan Romawi.

Mereka juga bisa menempuh perjalanan lewat darat dengan melalui Benua Asia, lalu ke Asia Tengah, dan ke Kerajaan Romawi. Meski jauh dan berbahaya, para pedagang dan pelaut ini saling berlomba.

Hasrat orang-orang Eropa ini adalah untuk menguasai perdagangan buah pala dan fuli di Kepulauan Banda. Dalam perebutan kekuasaan itu, sesama bangsa Eropa rela saling membunuh satu dengan yang lain.

Bahkan Belanda rela memberikan wilayah koloni atau jajahan mereka di Pulau Manhattan, daerah muara Sungai Hudson, Amerika bagian utara, yang oleh Belanda diberi nama Nieuw Amsterdam.

Setelah berada di tangan Inggris, Nieuw Amsterdam yang sebelumnya hanya berisi katak diganti menjadi New York. Sejak pertengahan abad ke-19, wajah New York telah sangat berubah dari sebelumnya.

Pembangunan kepulauan itu berlangsung sangat cepat. Dalam seketika, rawa-rawa berubah menjadi hutan beton dan gedung pencakar langit. Kepulauan kering itu pun kini disebut-sebut sebagai Ibu Kota Dunia.

Sementara Kepulauan Banda yang dijajah Belanda, sampai saat ini tetap menjadi gugusan pulau kecil yang ketinggalan jauh dari New York. Bahkan, kepulauan itu sudah mulai dilupakan oleh banyak orang.

Buah Emas yang Turun dari Langit

Buah pala dan fuli di Kepulauan Banda dikenal sebagai buah emas yang turun dari langit. Pada awalnya, buah ini merupakan karunia ilahi. Tetapi setelah datang bangsa Eropa, karunia itu menjadi bencana.

Buah pala yang harum mewangi, lantas menjadi bau anyir darah akibat perang bangsa Eropa. Rakyat Banda banyak yang menjadi korbannya. Kepala mereka dipenggal dan bumi mereka dihanguskan.

Sejarah kelam Kepulauan Banda sejalan dengan cerita rakyat tentang asal muasal pohon pala yang sangat tragis. Dikisahkan, ada seorang raja tersohor di Pulau Banda Besar yang namanya Mata Guna.

Raja ini memiliki seorang permaisuri yang bernama Putri Delima. Mereka hidup bahagia dan dikarunia empat orang putra dan seorang putri cantik rupawan, serta baik hatinya bernama Putri Ceilo Bintang.

Suatu hari, keluarga kerajaan ingin pergi mengarungi laut, mencari tempat tinggal dan pusat kerajaan yang baru. Tempat itu adalah Lonthoir, di Pulau Banda Besar.









Minggu, 26 Oktober 2014

Cepet @CarFreeDay

Cepet Watulawang di Car Free Day Alun-Alun Kebumen

Senin, 13 Januari 2014

Gelar Cepet Karanggayam

Cepet Karangjoho Karanggayam

Minggu, 24 Februari 2013

Mengintrodusir Konflik [?]

Konflik internal dalam komunitas seni Cepet ini, konon, dipicu indikasi konflik indang yang mengintervensi pelakunya. Tapi asumsi ini disanggah tetua seni tradisi ini. Indang, sebuah fenomena metafisikan yang mendorong pencapaian intransendental pelaku; tak mengenal konflik. Konflik itu bukan bawaan indang, melainkan murni karakter pelakunya.

Kamis, 13 September 2012

Mengenal Cepetan

CEPETAN. Adalah seni topeng tradisional khas “kebumenan” yang lebih merupakan topeng sosok ketimbang topeng wajah. Bentuk visual topengnya lebih kasar dibanding topeng panji. Sedangkan raut mukanya diasumsikan sebagai manifestasi dari berbagai mahluk kasar dan mahluk halus penghuni hutan. Ada yang menyebut seni topeng ini sebagai “cepetan alas” atau “tongbreng” atau “dangsak”.
Kesenian tradisional ini muncul pada abad XIX dan tumbuh di beberapa desa kawasan hulu pegunungan utara Kebumen. Kebanyakan terdapat di desa yang memiliki kawasan hutan dan menjadi basis-basis perkebunan onderneming semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Hingga masa pendudukan fasisme Jepang di Nusantara, eksistensi seni tradisi bercorak budaya agraris dan kental aura magis ini bertahan tumbuh; meskipun memasuki masa-masa sulit di bawah tekanan kolonial terhadap masyarakat lokal.
Proses pembuatan topeng cepetan ini sangatlah unik. Dikerjakan hanya oleh seorang pembuatnya saja. Dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, diantara celah-ceruk anak sungai, di balik rimbun semak belukar. Dan misterius, tak boleh terlihat orang lain selain oleh pembuatnya. Bahan topeng kasar ini dibuat dari bilah kayu pule, pohon tahun bergetah putih yang kini hanya tumbuh di kawasan hutan pegunungan.
Pada tahun 1980-an, beberapa komunitas seni cepetan mulai melakukan penetrasi cukup penting dibanding tahun-tahun di era sebelumnya. Yakni dengan memasukkan elemen bunyi-bunyian lain, seperti gamelan; untuk mengiringi penampilannya. Pada era awal, komunitas seni tradisi cepetan hanya mengenal instrumen yang sangat sederhana. Yakni menggunakan beberapa kentongan dan tambur atau jidur serta “gembreng” yang terbuat dari potongan pipih bekas drum besi. Pada era itulah, kesenian ini lebih populer disebut orang dengan istilah “tongbreng”.
Meski tak semua komunitas seni cepatan menggunakan instrument pengganti, tetapi seiring dimulainya penggunaan intrumen gamelan, maka aspek tarian atau beksan pun tak luput dari sentuhan garap. Terjadi pergeseran dalam pergulatan estetika, dari ritme permainan komunal tradisi, melalui proses kreatif menjadi suguhan pertunjukan yang layak ditonton.

Kamis, 30 Agustus 2012

Cepet "tong-breng"; Seni Tradisi Asli Kebumen


Seni tradisional Cepet Alas yang pada awalnya disebut pula "tong-breng" atau di tempat lain, seperti Peniron dan Watulawang, ada yang menyebutnya sebagai "Dangsak"; adalah seni tradisi asli dari Kebumen yang diestimasi tumbuh sejak -setidaknya- 2 abad lalu. 

Tradisi berkesenian ini muncul di kawasan hulu pegunungan utara, terutama di eks basis-basis perkebunan Onderneming pada masa kolonial Hindia Belanda. Hingga kini sebaran komunitas seni tradisi ini ditengara masih tumbuh di 9 desa pada 3 wilayah kecamatan; Karanggayam, Pejagoan dan sebagian kecil Alian.. (ap)

Rabu, 22 Agustus 2012

Catatan Pentas Seni Topeng "Cepetan"

Adalah "Cinta Karya Budaya", sebuah komunitas seni tradisi pedukuhan Karangjoho di pinggang desa Karanggayam, yang selama 2 hari berturut-turut, 21-22 Agustus 2012; menghelat pagelaran tahunannya. Halaman bale desa Karanggayam dikepung apresian yang antusias menyaksikan, sejak dari lepas lohor yang terik hingga surya menjelang ke peraduan. Gelar seni Cepetan dari komunitas yang dipimpin Sandihardjo (55 th), setidaknya melibatkan 30-an pegiat seni tradisi ini. Dukungan pemerintahan desa terhadap entitas kesenian ini nampak besar pula. Pentas juga dilaksanakan sehari sebelumnya di pedukuhan Karangjoho, tempat kesenian ini tumbuh dan berproses untuk mengatasi berbagai problem, termasuk tantangan regenerasinya.

Pentas Seni Cepetan Karanggayam | 22 Agustus 2012 (ap)

Selasa, 21 Agustus 2012

Transisi dari "tong-breng" ke Cepet

21 Agustus 2012



Wacana pencarian seni tradisi yang asli Kebumen, pasca pelantikan pengurus Dewan Kesenian Daerah (16/5/2012); menjadi topik hangat sembari membenahi program 1 tahun pertamanya. Thema ini tidak bergulir tiba-tiba atau sekonyong-konyong berdiri sendiri jadi perbincangan hangat. 
Pemetaan unit-unit tradisi yang ada dan ditengarai telah hidup melintasi  zaman dengan segala pasang-surutnya, menemukan seni topeng tradisional yang 'menyejarah' dalam konteks lokal; yakni Cepet Alas. 
Setelah melewati 4-6 transisi generasi, entitas kesenian ini masih ditemukan di beberapa desa kawasan hulu utara Kebumen. Diantaranya, yang tertua di Karangtengah (Karanggayam), Kajoran, Karangjoho-Karanggayam, Sentul-Kalirejo, Silampeng-Gunungsari. Juga terdapat di kawasan hulu wilayah kecamatan Pejagoan, yakni desa Watulawang dan Peniron.

***    

Pada tahun 2008, ketika komunitas Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) ketiban sampur menyelenggarakan Arisan Teater ke-4, di Bale Kelurahan Kebumen; ditampilkanlah pementasan seni tradisi "tong-breng" atau Cepetan Alas, yang bahkan masih dalam bentuk aslinya. SRMB mengundang beberapa kolega dan tamu dari luar kota, termasuk beberapa seniman Yogya, tamu dari Sulawesi Selatan asal etnis dan keturunan raja suku Mandar; Alisjahbana. Kehadiran sang raja suku ini disertai seorang penulis buku Orang Mandar Orang Laut, M. Ridwan Alimuddin. 

Pentas seni Cepetan ini diusung oleh komunitas seni tradisi dari desa Kajoran Karanggayam diapresiasi sebagai sebuah 'ekspresi dahsyat' dari Kebumen. Beberapa bulan sebelumnya, pegiat SRMB melakukan investigasi di kawasan hulu pegunungan utara Kebumen dan menemukan entitas seni tradisi yang dalam sejarah awalnya ditengarai tumbuh di basis-basis perkebunan onderneming era kolonialisme abad XIX lalu. 

Dari aspek historis, menurut testimoni penutur mBah Ruslan (alm) dari Kajoran, pada awalnya, seni tradisi "tong-breng" ini merupakan manifestasi dari perlawanan penduduk pribumi terhadap ekspansi dan eksploitasi sumberdaya agraris, yang dilakukan pada terutama bidang perkebunan, oleh korporasi gaya merchantilisme Eropa yang lazim disebut VOC. Persekutuan dagang Eropa ini lah yang sejatinya "menjajah" bukan hanya bumi Jawa; melainkan hampir keseluruhan Nusantara masa itu.

Catatan dari Karangjoho dan Kajoran


Yang bisa dituturkan dari komunitas seni Cepetan Alas generasi terakhir di bagian desa Karanggayam bertarikh seputar tahun 1943; yakni pada masa pendudukan fasisme Jepang. Sedangkan pada era sebelumnya tak ditemukan narasumber yang bisa menuturkannya. 

Korelasi terkuat dari keberadaan seni tradisional ini ditengarai kemunculannya pada kebiasaan mengiring hasil panen atas bumi pegunungan yang subur. Hasil panen berupa padi, padi gaga, palawija, rempah sayuran dan juga tembakau. Dalam  perkembangan pasca kemerdekaan di fase berikutnya, seni cepetan ini sering muncul pada ritual peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Bagaimana kehidupan komunitas seni tradisi di era sebelum pendudukan Jepang, sedikit yang mengetahuinya. Pernyataan pihak resmi (pemdes) pun hanya bisa mengidentivikasi seni tradisi ini pada era fasisme Jepang itu. Di mana pada masa itu bangsa ini mengalami krisis pangan sebagai akibat pendudukan Dai-Nipon.

Namun ada testimoni yang luput didokumentasikan, bahwa pada masa awal seni tradisi Cepet yang dalam idiom lokal disebut "tong-breng" ini tumbuh sejak masa kolonial Hindia Belanda. Bahkan ditengarai sebagai bagian dari perlawanan kultural penduduk pribumi di kawasan budaya agraris yang dieksploitasi dan dijadikan basis-basis perkebunan di bawah tekanan Cultur-stelsel serta kekuasaan onderneming VOC. 

Yang tersisa dalam ingatan kolektif masyarakat agraris hulu, bahwa model perlawanan budaya demikian dilancurkan pada masa pasca Perang Jawa (1830). Jejak kelaskaran Pangeran Diponegoro memang bisa ditemukan berdasarkan cerita tutur masyarakat Karanggayam.

Nah, seni asli "tong-breng" atau Cepet Alas ini tumbuh pada kawasan itu dan menjadi tradisi untuk mengganggu kenyamanan penjajah. Semacam menciptakan situasi instabilitas yang mengancam keberadaan onderneming yang mengeksploitasi kawasan agraris tradisional Jawa.

(bersambung)