Selasa, 21 Agustus 2012

Transisi dari "tong-breng" ke Cepet

21 Agustus 2012



Wacana pencarian seni tradisi yang asli Kebumen, pasca pelantikan pengurus Dewan Kesenian Daerah (16/5/2012); menjadi topik hangat sembari membenahi program 1 tahun pertamanya. Thema ini tidak bergulir tiba-tiba atau sekonyong-konyong berdiri sendiri jadi perbincangan hangat. 
Pemetaan unit-unit tradisi yang ada dan ditengarai telah hidup melintasi  zaman dengan segala pasang-surutnya, menemukan seni topeng tradisional yang 'menyejarah' dalam konteks lokal; yakni Cepet Alas. 
Setelah melewati 4-6 transisi generasi, entitas kesenian ini masih ditemukan di beberapa desa kawasan hulu utara Kebumen. Diantaranya, yang tertua di Karangtengah (Karanggayam), Kajoran, Karangjoho-Karanggayam, Sentul-Kalirejo, Silampeng-Gunungsari. Juga terdapat di kawasan hulu wilayah kecamatan Pejagoan, yakni desa Watulawang dan Peniron.

***    

Pada tahun 2008, ketika komunitas Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) ketiban sampur menyelenggarakan Arisan Teater ke-4, di Bale Kelurahan Kebumen; ditampilkanlah pementasan seni tradisi "tong-breng" atau Cepetan Alas, yang bahkan masih dalam bentuk aslinya. SRMB mengundang beberapa kolega dan tamu dari luar kota, termasuk beberapa seniman Yogya, tamu dari Sulawesi Selatan asal etnis dan keturunan raja suku Mandar; Alisjahbana. Kehadiran sang raja suku ini disertai seorang penulis buku Orang Mandar Orang Laut, M. Ridwan Alimuddin. 

Pentas seni Cepetan ini diusung oleh komunitas seni tradisi dari desa Kajoran Karanggayam diapresiasi sebagai sebuah 'ekspresi dahsyat' dari Kebumen. Beberapa bulan sebelumnya, pegiat SRMB melakukan investigasi di kawasan hulu pegunungan utara Kebumen dan menemukan entitas seni tradisi yang dalam sejarah awalnya ditengarai tumbuh di basis-basis perkebunan onderneming era kolonialisme abad XIX lalu. 

Dari aspek historis, menurut testimoni penutur mBah Ruslan (alm) dari Kajoran, pada awalnya, seni tradisi "tong-breng" ini merupakan manifestasi dari perlawanan penduduk pribumi terhadap ekspansi dan eksploitasi sumberdaya agraris, yang dilakukan pada terutama bidang perkebunan, oleh korporasi gaya merchantilisme Eropa yang lazim disebut VOC. Persekutuan dagang Eropa ini lah yang sejatinya "menjajah" bukan hanya bumi Jawa; melainkan hampir keseluruhan Nusantara masa itu.

Catatan dari Karangjoho dan Kajoran


Yang bisa dituturkan dari komunitas seni Cepetan Alas generasi terakhir di bagian desa Karanggayam bertarikh seputar tahun 1943; yakni pada masa pendudukan fasisme Jepang. Sedangkan pada era sebelumnya tak ditemukan narasumber yang bisa menuturkannya. 

Korelasi terkuat dari keberadaan seni tradisional ini ditengarai kemunculannya pada kebiasaan mengiring hasil panen atas bumi pegunungan yang subur. Hasil panen berupa padi, padi gaga, palawija, rempah sayuran dan juga tembakau. Dalam  perkembangan pasca kemerdekaan di fase berikutnya, seni cepetan ini sering muncul pada ritual peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Bagaimana kehidupan komunitas seni tradisi di era sebelum pendudukan Jepang, sedikit yang mengetahuinya. Pernyataan pihak resmi (pemdes) pun hanya bisa mengidentivikasi seni tradisi ini pada era fasisme Jepang itu. Di mana pada masa itu bangsa ini mengalami krisis pangan sebagai akibat pendudukan Dai-Nipon.

Namun ada testimoni yang luput didokumentasikan, bahwa pada masa awal seni tradisi Cepet yang dalam idiom lokal disebut "tong-breng" ini tumbuh sejak masa kolonial Hindia Belanda. Bahkan ditengarai sebagai bagian dari perlawanan kultural penduduk pribumi di kawasan budaya agraris yang dieksploitasi dan dijadikan basis-basis perkebunan di bawah tekanan Cultur-stelsel serta kekuasaan onderneming VOC. 

Yang tersisa dalam ingatan kolektif masyarakat agraris hulu, bahwa model perlawanan budaya demikian dilancurkan pada masa pasca Perang Jawa (1830). Jejak kelaskaran Pangeran Diponegoro memang bisa ditemukan berdasarkan cerita tutur masyarakat Karanggayam.

Nah, seni asli "tong-breng" atau Cepet Alas ini tumbuh pada kawasan itu dan menjadi tradisi untuk mengganggu kenyamanan penjajah. Semacam menciptakan situasi instabilitas yang mengancam keberadaan onderneming yang mengeksploitasi kawasan agraris tradisional Jawa.

(bersambung)  

0 komentar:

Posting Komentar