CEPETAN. Adalah seni topeng
tradisional khas “kebumenan” yang lebih merupakan topeng sosok
ketimbang topeng wajah. Bentuk visual topengnya lebih kasar dibanding
topeng panji. Sedangkan raut mukanya diasumsikan sebagai manifestasi
dari berbagai mahluk kasar dan mahluk halus penghuni hutan. Ada yang
menyebut seni topeng ini sebagai “cepetan alas” atau “tongbreng”
atau “dangsak”.
Kesenian tradisional
ini muncul pada abad XIX dan tumbuh di beberapa desa kawasan hulu
pegunungan utara Kebumen. Kebanyakan terdapat di desa yang memiliki
kawasan hutan dan menjadi basis-basis perkebunan onderneming
semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Hingga masa
pendudukan fasisme Jepang di Nusantara, eksistensi seni tradisi
bercorak budaya agraris dan kental aura magis ini bertahan tumbuh;
meskipun memasuki masa-masa sulit di bawah tekanan kolonial terhadap masyarakat lokal.
Proses pembuatan
topeng cepetan ini sangatlah unik. Dikerjakan hanya oleh seorang
pembuatnya saja. Dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, diantara
celah-ceruk anak sungai, di balik rimbun semak belukar. Dan misterius,
tak boleh terlihat orang lain selain oleh pembuatnya. Bahan topeng
kasar ini dibuat dari bilah kayu pule, pohon tahun bergetah
putih yang kini hanya tumbuh di kawasan hutan pegunungan.
Pada tahun 1980-an,
beberapa komunitas seni cepetan mulai melakukan penetrasi cukup
penting dibanding tahun-tahun di era sebelumnya. Yakni dengan
memasukkan elemen bunyi-bunyian lain, seperti gamelan; untuk
mengiringi penampilannya. Pada era awal, komunitas seni tradisi
cepetan hanya mengenal instrumen yang sangat sederhana. Yakni
menggunakan beberapa kentongan dan tambur atau jidur serta
“gembreng” yang terbuat dari potongan pipih bekas drum besi. Pada
era itulah, kesenian ini lebih populer disebut orang dengan istilah
“tongbreng”.
Meski tak semua
komunitas seni cepatan menggunakan instrument pengganti, tetapi
seiring dimulainya penggunaan intrumen gamelan, maka aspek tarian
atau beksan pun tak luput dari sentuhan garap. Terjadi
pergeseran dalam pergulatan estetika, dari ritme permainan komunal
tradisi, melalui proses kreatif menjadi suguhan pertunjukan yang
layak ditonton.
0 komentar:
Posting Komentar