This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 13 September 2012

Mengenal Cepetan

CEPETAN. Adalah seni topeng tradisional khas “kebumenan” yang lebih merupakan topeng sosok ketimbang topeng wajah. Bentuk visual topengnya lebih kasar dibanding topeng panji. Sedangkan raut mukanya diasumsikan sebagai manifestasi dari berbagai mahluk kasar dan mahluk halus penghuni hutan. Ada yang menyebut seni topeng ini sebagai “cepetan alas” atau “tongbreng” atau “dangsak”.
Kesenian tradisional ini muncul pada abad XIX dan tumbuh di beberapa desa kawasan hulu pegunungan utara Kebumen. Kebanyakan terdapat di desa yang memiliki kawasan hutan dan menjadi basis-basis perkebunan onderneming semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Hingga masa pendudukan fasisme Jepang di Nusantara, eksistensi seni tradisi bercorak budaya agraris dan kental aura magis ini bertahan tumbuh; meskipun memasuki masa-masa sulit di bawah tekanan kolonial terhadap masyarakat lokal.
Proses pembuatan topeng cepetan ini sangatlah unik. Dikerjakan hanya oleh seorang pembuatnya saja. Dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, diantara celah-ceruk anak sungai, di balik rimbun semak belukar. Dan misterius, tak boleh terlihat orang lain selain oleh pembuatnya. Bahan topeng kasar ini dibuat dari bilah kayu pule, pohon tahun bergetah putih yang kini hanya tumbuh di kawasan hutan pegunungan.
Pada tahun 1980-an, beberapa komunitas seni cepetan mulai melakukan penetrasi cukup penting dibanding tahun-tahun di era sebelumnya. Yakni dengan memasukkan elemen bunyi-bunyian lain, seperti gamelan; untuk mengiringi penampilannya. Pada era awal, komunitas seni tradisi cepetan hanya mengenal instrumen yang sangat sederhana. Yakni menggunakan beberapa kentongan dan tambur atau jidur serta “gembreng” yang terbuat dari potongan pipih bekas drum besi. Pada era itulah, kesenian ini lebih populer disebut orang dengan istilah “tongbreng”.
Meski tak semua komunitas seni cepatan menggunakan instrument pengganti, tetapi seiring dimulainya penggunaan intrumen gamelan, maka aspek tarian atau beksan pun tak luput dari sentuhan garap. Terjadi pergeseran dalam pergulatan estetika, dari ritme permainan komunal tradisi, melalui proses kreatif menjadi suguhan pertunjukan yang layak ditonton.

Kamis, 30 Agustus 2012

Cepet "tong-breng"; Seni Tradisi Asli Kebumen


Seni tradisional Cepet Alas yang pada awalnya disebut pula "tong-breng" atau di tempat lain, seperti Peniron dan Watulawang, ada yang menyebutnya sebagai "Dangsak"; adalah seni tradisi asli dari Kebumen yang diestimasi tumbuh sejak -setidaknya- 2 abad lalu. 

Tradisi berkesenian ini muncul di kawasan hulu pegunungan utara, terutama di eks basis-basis perkebunan Onderneming pada masa kolonial Hindia Belanda. Hingga kini sebaran komunitas seni tradisi ini ditengara masih tumbuh di 9 desa pada 3 wilayah kecamatan; Karanggayam, Pejagoan dan sebagian kecil Alian.. (ap)

Rabu, 22 Agustus 2012

Catatan Pentas Seni Topeng "Cepetan"

Adalah "Cinta Karya Budaya", sebuah komunitas seni tradisi pedukuhan Karangjoho di pinggang desa Karanggayam, yang selama 2 hari berturut-turut, 21-22 Agustus 2012; menghelat pagelaran tahunannya. Halaman bale desa Karanggayam dikepung apresian yang antusias menyaksikan, sejak dari lepas lohor yang terik hingga surya menjelang ke peraduan. Gelar seni Cepetan dari komunitas yang dipimpin Sandihardjo (55 th), setidaknya melibatkan 30-an pegiat seni tradisi ini. Dukungan pemerintahan desa terhadap entitas kesenian ini nampak besar pula. Pentas juga dilaksanakan sehari sebelumnya di pedukuhan Karangjoho, tempat kesenian ini tumbuh dan berproses untuk mengatasi berbagai problem, termasuk tantangan regenerasinya.

Pentas Seni Cepetan Karanggayam | 22 Agustus 2012 (ap)

Selasa, 21 Agustus 2012

Transisi dari "tong-breng" ke Cepet

21 Agustus 2012



Wacana pencarian seni tradisi yang asli Kebumen, pasca pelantikan pengurus Dewan Kesenian Daerah (16/5/2012); menjadi topik hangat sembari membenahi program 1 tahun pertamanya. Thema ini tidak bergulir tiba-tiba atau sekonyong-konyong berdiri sendiri jadi perbincangan hangat. 
Pemetaan unit-unit tradisi yang ada dan ditengarai telah hidup melintasi  zaman dengan segala pasang-surutnya, menemukan seni topeng tradisional yang 'menyejarah' dalam konteks lokal; yakni Cepet Alas. 
Setelah melewati 4-6 transisi generasi, entitas kesenian ini masih ditemukan di beberapa desa kawasan hulu utara Kebumen. Diantaranya, yang tertua di Karangtengah (Karanggayam), Kajoran, Karangjoho-Karanggayam, Sentul-Kalirejo, Silampeng-Gunungsari. Juga terdapat di kawasan hulu wilayah kecamatan Pejagoan, yakni desa Watulawang dan Peniron.

***    

Pada tahun 2008, ketika komunitas Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) ketiban sampur menyelenggarakan Arisan Teater ke-4, di Bale Kelurahan Kebumen; ditampilkanlah pementasan seni tradisi "tong-breng" atau Cepetan Alas, yang bahkan masih dalam bentuk aslinya. SRMB mengundang beberapa kolega dan tamu dari luar kota, termasuk beberapa seniman Yogya, tamu dari Sulawesi Selatan asal etnis dan keturunan raja suku Mandar; Alisjahbana. Kehadiran sang raja suku ini disertai seorang penulis buku Orang Mandar Orang Laut, M. Ridwan Alimuddin. 

Pentas seni Cepetan ini diusung oleh komunitas seni tradisi dari desa Kajoran Karanggayam diapresiasi sebagai sebuah 'ekspresi dahsyat' dari Kebumen. Beberapa bulan sebelumnya, pegiat SRMB melakukan investigasi di kawasan hulu pegunungan utara Kebumen dan menemukan entitas seni tradisi yang dalam sejarah awalnya ditengarai tumbuh di basis-basis perkebunan onderneming era kolonialisme abad XIX lalu. 

Dari aspek historis, menurut testimoni penutur mBah Ruslan (alm) dari Kajoran, pada awalnya, seni tradisi "tong-breng" ini merupakan manifestasi dari perlawanan penduduk pribumi terhadap ekspansi dan eksploitasi sumberdaya agraris, yang dilakukan pada terutama bidang perkebunan, oleh korporasi gaya merchantilisme Eropa yang lazim disebut VOC. Persekutuan dagang Eropa ini lah yang sejatinya "menjajah" bukan hanya bumi Jawa; melainkan hampir keseluruhan Nusantara masa itu.

Catatan dari Karangjoho dan Kajoran


Yang bisa dituturkan dari komunitas seni Cepetan Alas generasi terakhir di bagian desa Karanggayam bertarikh seputar tahun 1943; yakni pada masa pendudukan fasisme Jepang. Sedangkan pada era sebelumnya tak ditemukan narasumber yang bisa menuturkannya. 

Korelasi terkuat dari keberadaan seni tradisional ini ditengarai kemunculannya pada kebiasaan mengiring hasil panen atas bumi pegunungan yang subur. Hasil panen berupa padi, padi gaga, palawija, rempah sayuran dan juga tembakau. Dalam  perkembangan pasca kemerdekaan di fase berikutnya, seni cepetan ini sering muncul pada ritual peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Bagaimana kehidupan komunitas seni tradisi di era sebelum pendudukan Jepang, sedikit yang mengetahuinya. Pernyataan pihak resmi (pemdes) pun hanya bisa mengidentivikasi seni tradisi ini pada era fasisme Jepang itu. Di mana pada masa itu bangsa ini mengalami krisis pangan sebagai akibat pendudukan Dai-Nipon.

Namun ada testimoni yang luput didokumentasikan, bahwa pada masa awal seni tradisi Cepet yang dalam idiom lokal disebut "tong-breng" ini tumbuh sejak masa kolonial Hindia Belanda. Bahkan ditengarai sebagai bagian dari perlawanan kultural penduduk pribumi di kawasan budaya agraris yang dieksploitasi dan dijadikan basis-basis perkebunan di bawah tekanan Cultur-stelsel serta kekuasaan onderneming VOC. 

Yang tersisa dalam ingatan kolektif masyarakat agraris hulu, bahwa model perlawanan budaya demikian dilancurkan pada masa pasca Perang Jawa (1830). Jejak kelaskaran Pangeran Diponegoro memang bisa ditemukan berdasarkan cerita tutur masyarakat Karanggayam.

Nah, seni asli "tong-breng" atau Cepet Alas ini tumbuh pada kawasan itu dan menjadi tradisi untuk mengganggu kenyamanan penjajah. Semacam menciptakan situasi instabilitas yang mengancam keberadaan onderneming yang mengeksploitasi kawasan agraris tradisional Jawa.

(bersambung)